Jumat, 26 Desember 2008

Demo di Altar

DEMO DI ALTAR

Tuhan telah memanggil aku dengan namaku dan kurasa itu suatu identitas bagiku untuk memikul suatu tanggung jawab,dan itulah identitas panggilanku. Ketika hari Minggu Panggilan tiba, tak jarang serentak disetiap Paroki mengundang para Biarawan, birawati , Imam untuk meramaikan suasana Pekan Panggilan dengan berbagai acara mulai dari talk Show, buka stand pameran dan juga diwawancarai atau bercerita tentang sejarah panggilan. Dengan waktu kurang tidak lebih lima menit , diminta untuk menceritakan riwayat hidup mulai masuk hingga beberapa tahun hidup dalam biara, tak lepas juga memperkenalkan Ordo atau kongregasinya, mana mungkin bisa komplit?. tapi itu yang sering kali terjadi dan saya alami.
Untuk menceritakan Sejarah Hidup, memang butuh waktu lama, namun pengalaman berdemo di altar merupakan hal yang menantang dan mengasyikkan, setelah setiap kejadian saya refleksikan kembali kadang saya bertanya dalam hati dan hanya bisa manggut-mangut, kok bisa ya saya ngomong 5 menit tapi mencakup sejarah hidup, kalau soal lengkap yang pasti tidak lengkap, oleh karena itu bagi para pendengar, yang kadang masih bertanya-tanya tentang riwayat panggilan saya, tulisan ini saya harapkan sebagai jawaban, siapa tahu biasa sedikit memuaskan, lha kalau masih belum puas ya, mari kita duduk bersama dan saya akan cerita dengan catatan kalau ada kesempatan & waktunya lho. Bagi adik-adik remaja puteri, ya dating saja ke biara kami di komplek Sekolah Notre Dame
Panggilan hidup seseorang adalah suatu misteri, apalagi panggilan hidup relegius, saya merasa tertarik untuk menjadi suster, ketika kelas 2 SD, sewaktu dipilih menjadi malaekat untuk berprosesi, “Sakramen Maha Kudus dari sekolahku, SD Katolik menuju ke Gereja. Memang menjadi adat dari parokiku, yang dipimpin oleh Para Ramo CM dari Itali, setiap Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, selalu diadakan Prosesi,lewat jalan utama kota. Saat itu di kotaku Blora belum ada biara Suster, para Suster datang dari Kota Rembang. Para Suster inilah yang mendandani anak-anak kecil yang berperan sebagai malaekat penabur bunga, yang berarak didepan.Dari situlah benih panggilan muncul, karena saya merasakan kebaikan hati, keramah-tamahan para suster, serasa aku ingin menjadi seperti mereka.Sebagai anak kecil dan dari keluarga Katolik saya aktif juga ikut Bina Iman dan kegiatan menggereja.
Dalam perjalanan waktu, panggilan yang tertanam dihatiku itu timbul dan tenggelam, setelah lulus SD katolik Kridadharma, saya melanjutkan ke SMP Katolik Adi Sucipto. Sebagai remaja, saya juga senang bergaul dan punya bayak teman bahkan saya punya “gang” yang kuberi nama PENDAWI, karena terdiri 5 remaja puteri, saya bersama teman-teman suka menjelajahi desa-desa sekitar Blora, apalagi kalau musim “Sedekah Desa” ( upacara syukuran yang diadakan masyarakat desa ,bersyukur pada “DEWI SRI” ,( dewi kesuburan) setelah mereka selesai panen padi& palawija, dan itu kami lakukan dengan naik sepeda. Gang Pendawi dan teman –teman lain juga senang haiking, pergi ke gua-gua, , pokoknya kami ini Cewek petualang dan itu kami lakukan sampai kami masuk SPG ( sekolah Pendidikan Guru). Saya pribadi, anak yang suka main dengan tetangga sebaya,bila hujan tiba, saya dan adikku cepat lari keluar rumah untuk berhujan-hujan dan bermain di sungai kecil atau mandi di berbagai “ TALANG” ( Pancuran dari atap rumah), inilah keasyikan tersendiri. Saya juga senang memanjat pohon tidak ada rasa takut sedikitpun meski dibawah pohon itu ada sumurnya.
Masa bermain dengan teman-teman sekolah maupun tetangga, memang sangat mengasyikkan, hingga kini kalau saya bertemu dengan teman-teman, kami selalu bernostalgia betapa bahagianya masa kecil dulu. Kami juga sering bermain petak umpet dimalam hari apalagi jika purnama tiba.
MASA REMAJA
Dengan berjalannya waktu, cita-citaku juga macam-macam, saya pernah bercita-cita ingin menjadi POLWAN, HAKIM, GURU, dan saya memang masuk ke SPG, ( sekolah Pendidikan Guru) yang saat itu calon murid disaring sangat ketat. Saat saya kelas 1 SPG, pada hari kamis Legi 3 malam berturut –turut saya tidak dapat tidur, ingatanku senantiasa terbayang kesengsaraan Yesus di salib.Entah mengapa, seperti ada sesuatu yang mengusik hatiku ada kata yang selalu mengiang “ Aku telah menderita untukmu, apa yang akan kau perbuat untuk-Ku?”. Disitulah muara suara hatiku menggebu untuk menjadi seorang biarawati. Saya menceritakan segala gejolak hatiku pada mbak Anik, tetangga & sahabatku, dia bilang : “Mbak Puji, pasti Om To ( demikian dia memanggil bapakku, tidak mengijinkan karena dikau anak pertama”. Memang saya dan dia sama-sama anak pertama. Malam itu hari Minggu bapak dan ibuku pergi kondangan sehingga saya dan mbak Anik bebas bercerita dan menangis bersama.
Paginya saya pergi ke Susteran, saya bertemu Sr M. Lusia dan menceritakan segala yang saya alami, suster mengajak saya berdoa di kapel, setelah itu kami duduk berdua dan masih meneruskan curhat saya padanya. Suster bilang, soal minta ijin kepada bapak dan ibuku itu urusan suster, yang penting saya menyelesaikan sekolah dengan baik. Tak kuduga sore itu suster datang kerumahku, saya baru disuruh ibu berbelanja dengan adikku.Ketika saya masuk rumah, kudapati nenekku menangis keras seperti ada orang yang meninggal. Dengan menangis nenekku bilang : “ Kamu kok mau jadi suster kenapa?, apa tidak cinta lagi dengan nenek, dengan ibu bapakmu dan adik-adikmu, nenek pengin mati saja…kalau kamu menjadi suster”. Apa kamu tidak tahu bahwa menjadi suster itu seperti orang yang mati, tidak boleh bertemu dengan keluarga, seperti buliknya nenek dulu jadi suster juga tidak pernah pulang”.
Oh saya baru tahu kalau dulu adiknya buyutku juga jadi suster tapi suster kontemplatif, entah apa kongregasinya nenekku tidak tahu. Setelah Sr M Lusia pulang, sore itu menjadi saat yang sangat menyedihkan bagiku.Malamnya bapak duduk di beranda tidak mau makan malam ,mungkin sampai pagi bapak duduk di beranda. Saat itu memang masa liburan sekolah, pagi harinya saya membut kue, dan membantu didapur tak kuduga bapak mendekatiku dan bertanya : “ Nduk apa benar kamu mau jadi suster ?, apa alasanmu ?”. Aku sungguh tidak bisa menjawab pertanyaan bapak, karena saya melihat bapak menangis tersedu-sedu, lalu bapak bilang :” Bapak tidak mengijinkan kamu”. Serasa halilintar kata-kata bapak menyambar hatiku. Tapi entahlah ada perasaan tegar untuk mewujudkan keinginan hatiku, begitu kuat terasa, saya harus menjadi seorang biarawati.
Saya tidak tahu kalau ada banyak Ordo/ Kongregasi biarawati di Indonesia ini, yang kutahu kalau jadi suster ya sama saja.
Saya mendekati ibu dan bertanya:” Bu bagaimana?”.” Apa ibu mengijinkan saya ?”. Ibu merangkul dan menciumku:” Ya kalau itu yang menjadi kehendak Tuhan ya pasti kamu bisa jadi suster.” Katanya. “ lalu bagaimana dengan bapak ,yang tidak mengijinkan saya?.jawabku”. “ Soal bapak adalah urusan ibu, yang penting kamu sekolah yang baik ya, kata ibu sambil terus menciumiku”.Kata – kata dan perlakuan ibuku megurangi beban dihatiku. Itulah jawaban ibu yang dikatakannya kepada Sr M Lusia juga, bahkan dari Sr Lusia saya tahu bahwa ibu rela menyerahkan saya untuk menjadi abdi Tuhan.Karena ibu merasakan keanehan saat mengadung saya. Memangg sih jarak pernikahan orang tuaku dan kelahiranku memang cukup lama. Ibu tidak segera mengandung setelah menikah, pernah mengandung tapi keguguran, oleh karena itu ibu mengambil anak kakak perempuannya untuk dijadikan pancingan, dan beberapa tahun kemudian barulah mengandung saya. Tapi aneh juga, saya berada dalam kandungan sampai satu tahun, lain dengan bayi-bayi lain, sehingga ibu harus menjalani adat merangkak seperti kerbau, supaya saya dapat segera lahir. Inilah yang sering kudengar dari para tetanggaku.
Ketika saya lahir, katanya sich hujan begitu deras dan petir menyambar-nyambar, tapi begitu tangisku terdengar suasana diluar menjadi tenang. Nenek dan kakekku ketakutan melihat wajahku yang penuh dengan cakaran kuku, maklum kuku-kukuku sudah panjang, habis kalau saya lahir menurut waktu tentu saya udah umur 3 bulan ya. Saya anak pertama yang dirindukan oleh karena itu saya diberi nama Puji Ekowati yang artinya Pujian pada Tuhan yang telah memberi anak pertama perempuan. Nama baptisku Maria Marcia, yang memberi nama Romo Ernesto Fevari CM yang waktu itu menjadi Romo Paroki Blora.
Waktu terus berjalan, setelah ada pembicaraan ibu dan Sr Lusia, saya resmi jadi Aspiran ( calon Suster SND) saya diminta setiap hari Sabtu hingga Senin tinggal disusteran, memang sejak tahun 1972 di Blora ada susteran SND.Setiap sabtu sore saya berangkat ke susteran belajar berdoa dan lebih mengenal tata cara kehidupan biarawati.Setiap hari Minggu saya ke gereja bersama para suster dan nanti kalau pulang juga masih tinggal bersama para suster. Inilah saat yang mengharukan bagi orang tuaku & guru-guruku. Maklum para guruku mengenal saya dan punya hubungan yang baik dengan orang tua saya karena Blora memang kota kecil, kami satu Paroki dan rasanya semua orang seperti saudara sediri saling kenal, bahkan kenal baik sering ziarah bersama ke Sendang sono dll, yang merupakan acara rutin setiap bulan Rosario, suasana demikian mengakrapkan rasa persaudaraan antar umat di parokiku.
Sepulang gereja biasanya saya & para suster jalan bersama orang tua dan kenalan lain yang satu jalan, dan bila tiba jalan menuju ke susteran kami belok dan keluargaku & kenalan tetanggaku jalan lurus, kadang mereka tak tahan menitikkan air mata haru melihat ketegaranku. Saya sendiri merasa aneh, kok saya punya kekuatan seperti ini ya?. Padahal untuk beli sesuatu ke toko saja saya lebih sering suruhan orang lain, dan kalau bepergian keluar kota kalau tidak dengan orang tuaku saya tak mau. Inilah rahmat kekuatan dari Tuhan yang kurasakan.
Ketika saya kelas 2 SPG saya diminta oleh Sr M Lusia untuk tinggal di susteran, saya minta ijin ibu dan diijinkan. 1 tahun penuh saya hidup bersama para suster sambil bersekolah dengan demikian saya telah dilatih bagaimana mengkombinasikan hidup doa dan karya secara intensif. Padahal pada saat itu 6 bulan saya & teman-teman mendapat tugas “MAGANG” praktek mengajar di sekolah –sekolah Negeri yang tempatnya cukup jauh dari kota. Kami meski bersepeda kurang lebih 4-7 kilometer tergantung tempat dimana kami bermagang. Ternyata para suster juga terbuka dan menerima teman-temanku yang beragama lain bila mereka datang untuk belajar bersamaku di susteran. Banyak pengalaman yang kualami saat saya magang. Waktu itu kami bersepeda sejauh 7 km, melewati belakang asrama tentara, tapi setelah saya bertemu dengan komandan yang beragama katolik, yang mengijinkan kami untuk lewat di tengah asrama, sehingga kami memotong jalan lebih berhemat energi hanya bersepeda sejauh 4 kilo. Tapi tentunya ada tantangan lain, kami menghadapi tentara-tentara muda yang sering menggodai kami.
Bagi kami itu bukan soal kan kami ini geng “ Pendawi” yang gagah berani. Suatu saat akan kami kerjain para baju hijau yang suka godain perempuan.Tibalahh hari H kami selesai Magang. Lalu salah satu diantara kami punya ide, dolan ke rumah saudari sepupunya yang istri tentara yang tinggal di komplek itu, ide itu muncul tiba-tiba memang. Kami berlima datang ke POS Penjagaan biasa kan kalau mau berkunjung ke asrama tentara para tamu kan harap lapor, waktu kami diminta untuk menulis di buku tamu, kami tulis nama samaran kami dan alamat palsu kami. Ternyata dugaan kami betul sewaktu mereka tidak piket ada beberapa tentara muda yang bertandang dirumah sepupu teman saya itu, yang kami tanggapi dengan sopan kan kami calon-calon guru, ternyata beberapa hari kemudian mereka itu datang ke Kota ( maklum asrama tentaranya kan diluar kota) , untuk mencari alamat kami, mana ketemu yang kami tulis itu alamat rumah sakit, penjara, kuburan dll, mereka tentu kecewa dan hal itu kami ketahui dari saudara sepupu temanku bahwa mereka dikibulin. Mendengar cerita itu kami tertawa…Cewek Pendawi koq dilawan ya itulah akibatnya he..he..he.. itulah salah satu kebadungan kami.
Meski badung dalam hal prestasi sekolah kami anak-anak berprestasi, kalau tidak ranking 1 ya 2 kami kompak dalam belajar dan semboyan kami soal prestasi & kreatifitas nggak mau kalah ama teman-teman cowok. Kami ber 5 berlainan agama hanya saya yang beragama Katolik, dan 1 yang beragama Kristen, namun kami kompak dalam segala hal yang baik. Memang sich di tempatku, lingkungan tetanggaku amat sangat rukun kami merayakan Idul Fitri, Natal,Imlek tanpa halangan dan kami saling berkunjung dan merayakan bersama dihari besar tersebut, juga teman –teman kecilku dari berbagai kalangan,kalau pergi ke sekolah kami itu terdiri dari rombongan besar anak-anak antara 15 – 20 anak, kadang jalan kaki kadang ikut bus atau naik gerobak lembu ( sapi ) bila pulang sekolah, saya merasa masa kecil & masa remaja saya begitu indah dan aduhai rukun ama tetangga & teman, tidak ada perbedaan yang pribumi atau keturunan, bagi kami ya sama, main bersama, kesekolah, dll bersama tanpa perbedaan, bahkan sampai sekarangpun kalau saya pulang selalu bernostalgia tentang masa-masa yang mengesankan itu.
3 tahun sudah saya belajar hidup di susteran dari tahun ke tahun terjadi penyadaran bagi nenekku yang dulu menentang saya untuk masuk suster sekarang juga mengijinkan setelah beliau mendapat keterangan dari para suster bahwa suatu saat bila masa pendidikanku telah selesai saya juga boleh cuti menengok keluarga.
Kakak sepupuku (yang diangkat ibuku) yang dulu melarang saya untuk jadi suster juga mengijinkan, maklum dia berpikir bahwa dia yang bukan anak kandung tapi ketika menikah dipestakan begitu meriah oleh keluargaku kok saya sebagai anak sendiri mau menjadi biarawati, maka dia juga berusaha menghalangiku dengan berbagai cara termasuk menguna-guna( minta tolong orang pintar), supaya cita-citaku gagal tapi aneh, kata orang pintar itu, saat dia meditasi dia melihat diatas kepalaku ada sinarnya, jadi ini mungkin udah jalanku untuk menjadi pelayan Tuhan. Hal ini kuketahui saat aku menerima busana biara, kakakku itu bersujud dihadapanku dan minta maaf bahwa dia pernah menguna-gunaiku, dan menceritakan semua yang trjadi padaku.Tidak hanya dia saja yang coba main guna-guna tapi juga salah satu keluarga sahabat baik bapak & ibuku mereka ingin menjodohkan anak pertamanya denganku, tapi sering jika anaknya datang kerumahku saya malah menghindar pergi. Nggak tahu deh pokoknya saya nggak suka di jodoh-jodohkan. Ternyata mereka juga menguna-gunaiku. Bahkan ibu& nenekku pernah bilang : “ Kalau semua ini panggilan Tuhan pasti dia tidak mempan diguna-guna” inilah percakapan mereka yang sempat kudengar.
Hari libur besar saya diperbolehkan liburan dirumah oleh Sr M.Lusia, saya lulus dari sekolah guru. Sr Lusia berpesan gunakan waktumu untuk minta ijin bapak. Memang sih 3 tahun perjuanganku terberat adalah menghadapi sikap bapakku yang berubah, sekarang bapak banyak diam, dan kalau kupandang/ bertemu denganku bapak memalingkan muka, tapi kalau tidak kulihat, bapak mencuri pandang untuk melihat saya. Hal ini menjadikan saya sangat sedih, karena saya memang dekat dengan bapak, saya dapat memahaminya betapa sedih beliau melepaskan saya. Saya sangat stress waktu libuaran dirumah, mencari cara untuk minta ijin bapak. Suatu malam, saya menunggu bapak keluar dari kamar kecil, ini merupakan kebiasaan bapakku nonton T V sampai malam trus ke kamar kecil.
Sewaktu bapak keluar dan melihat saya ada didepan kamar kecil, bapak sangat terkejut dan bertanya “ Nduk kok kamu belum tidur? “. “ Ya Pak jawabku, saya mau matur bapak”. “Ayo mau matur opo “, bapak menggandengku untuk ke ruang tamu dan kami duduk berhadapan. Dengan terbata- bata dan menahan sedih saya bilang :” Pak dulu 3 tahun yang lalu bapak tidak mengijinkan saya untuk menjadi biarawati, sekarang saya minta ijin lagi pada bapak “ Tak kuduga bapak memelukku dan menangis berkata:” Sudah 3 tahun bapak berperang melawan Tuhan tapi bapak kalah, bapak mengijinkan kamu, kalau ini memang tekadmu harapan bapak jangan pernah menoleh lagi, ikuti jalan panggilanmu”. Rasanya ada beban berat yang lepas dari pundak dan hatiku, saya merasa begitu lega mendengar kata bapak yang mengijinkanku.
Tanggal 8 Mei 1980, Sr M Lusia telah merancang acara untuk perpisahanku dengan warga paroki St Pius X Blora. Saya didandani gaun dan jas serba hitam,dengan sleyer penutup kepala warna putih, didampingi oleh ibu dan Sr M Lusia. Menjelang terima komuni, setelah mengucapkan Anak Domba Allah, saat TUBUH KRISTUS diangkat saya mengucapkan doa penyerahan diri, banyak warga paroki yang tak kuat menahan haru dan menangis.Tanggal 10 Mei saya berangkat ke Pekalongan dihantar oleh nenek, adik-adikku dan teman-temanku serta Sr Lusia dan Rm Marto Kusumo CM. bapak dan ibu tidak mengantarku karena ayahku sakit, menurut dokter ayah kena typus. Meskipun bapakku sakit, tapi hatiku tetap tegar untuk berangkat semua kuserahkan kepada Tuhan, kalau Tuhan memanggilku pasti Tuhan akan menyediakan jalan yang paling baik bagi hidupku.
Pada tanggal 31 Mei adalah upacara penerimaanku sebagai postulant SND, pemiimpinku meminta supaya bapak dan ibuku dapat hadir.Beliau berdua datang dari Blora naik travel, bapakku begitu kurus, namun amat ceria sewaktu bertemu denganku, menurut ibu selama ini bapak makan bubur karena masih sakit, tapi aneh, sepulang dari Misa pagi Bapak, ibu, saya dan temanku yang akan masuk biara juga, keliling kota Pekalongan dan bapak mengajak makan di restoran. Saya heran bapak memilih makanan yang pedas, saya nyeletuk :” Bapak kan masih sakit mengapa kok makan pedas?”. Jawabnya : bapak sekarang tidak sakit lagi, karena telah bertemu denganmu, dan melihat keadaanmu senang tinggal dibiara”. Saya lega mendengar jawaban bapak, sepertinya bapak juga sakit rindu denganku. Hari itu bapak minta mangga, padahal sudah berkeliling tidak ada mangga, kan memang bukan musim mangga, tapi malam hari ada suster yang membawakan mangga dan menyajikannya pada bapak & ibuku, bapak melihat hal ini suatu mukjijat, dan menurut penuturan adikku keluargaku selalu mengalami hal-hal diluar dugaan dan bapak selalu mensharingkan pengalaman keajaiban Tuhan pada saat doa di lingkungan. Saya masuk biara tanggal 22 Juni 1980, sebagai hari Peringatan Santa Yulie Billiart digelarkan Santa.

Oleh Sr. Maria Monika Puji Ekowati SND

Tidak ada komentar:

Posting Komentar